Nama : NURMALA DWI KARTIKA
NPM : 1401270095
Kelas : Perbankan Syariah Vb Pagi
Buku : Adiwarman A. Karim. 2004. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ada empat
(4) teknik yang perlu dilakukan untuk mendesain suatu akad pembiayaan syariah,
yaitu :
(1) Memahami
karakteristik kebutuhan nasabah.
Dalam hal
ini, terdapat 2 hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
(a) Objek.
Hal pertama
yang harus dilihat untuk memahami karakteristik kebutuhan nasabah adalah
objek.Apabila objek pembiayaan yang dibutuhkan nasabah adalah berupa barang,
harus dilihat dari sisi apakah barang tersebut ready
stock atau goods in process. Jika barang tersebut ready
stock, pembiayaan yang layak untuk diberikan kepada nasabah adalah
pembiayaan murabahah. Namun, jika
barang tersebut berupa goods in process, harus dilihat lagi dari sisi
apakah waktu yang diperlukan dalam proses barang tersebut berada di bawah 6
bulan atau lebih. Jika proses barang tersebut berada di bawah 6 bulan, pembiayaan
yang dapat diberikan adalah pembiayaan salam dengan asumsi nasabah akan mampu
menyelesaikan kewajibannya dalam satu kali pembayaran sekaligus. Namun, jika
proses barang tersebut berada di atas 6 bulan, pembiayaan yang dapat diberikan
adalah pembiayaan istishna’ dengan asumsi nasabah baru akan mampu
menyelesaikan kewajibannya setelah melakukan beberapa kali pembayaran. Di sisi
lain, apabila objek pembiayaan yang dibutuhkan nasabah bukan berupa barang,
melainkan jasa, pembiayaan yang harus diberikan kepada nasabah adalah
pembiayaan ijarah.
(b)
Kegunaan.
Hal kedua yang harus dilihat untuk memahami karakteristik kebutuhan
nasabah adalah dari sisi kegunaan barang atau jasa yang dibutuhkan. Dalam hal
ini, hal utama yang harus cermati adalah apakah barang atau jasa yang
dibutuhkan nasabah akan digunakan untuk kegiatan produktif atau konsumtif.Apabila
kegunaan pembiayaan yang dibutuhkan nasabah adalah untuk kegiatan produktif, harus dilihat dari sisi apakah barang tersebut digunakan untuk modal kerja atau
investasi.
- Modal
Kerja.
Jika kegunaan barang atau jasa tersebut digunakan untuk modal kerja, harus dilihat apakah nasabah telah mempunyai kontrak dengan pihak ketiga atau tidak. Jika nasabah telah mempunyai kontrak, yang harus ditelaah adalah apakah pembiayaan tersebut digunakan untuk pekerjaan konstruksi atau pengadaan barang. Jika untuk pekerjaan konstruksi, pembiayaan yang dapat diberikan bank syariah adalah pembiayaan istishna.
Jika kegunaan barang atau jasa tersebut digunakan untuk modal kerja, harus dilihat apakah nasabah telah mempunyai kontrak dengan pihak ketiga atau tidak. Jika nasabah telah mempunyai kontrak, yang harus ditelaah adalah apakah pembiayaan tersebut digunakan untuk pekerjaan konstruksi atau pengadaan barang. Jika untuk pekerjaan konstruksi, pembiayaan yang dapat diberikan bank syariah adalah pembiayaan istishna.
- Investasi.
Dalam hal jika kegunaan barang atau jasa tersebut digunakan untuk investasi, yang harus dilihat adalah apakah pembiayaan tersebut dimaksudkan untuk ready stock atau goods in process. Jika untuk ready stock, faktor selanjutnya yang harus dilihat adalah apakah barang tersebut sensitif terhadap tax issues atau tidak. Jika iya, pembiayaan yang diberikan bank adalah pembiayaan Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik (IMBT).
Dalam hal jika kegunaan barang atau jasa tersebut digunakan untuk investasi, yang harus dilihat adalah apakah pembiayaan tersebut dimaksudkan untuk ready stock atau goods in process. Jika untuk ready stock, faktor selanjutnya yang harus dilihat adalah apakah barang tersebut sensitif terhadap tax issues atau tidak. Jika iya, pembiayaan yang diberikan bank adalah pembiayaan Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik (IMBT).
(2) Memahami
kemampuan nasabah.
Teknik kedua
yang perlu dilakukan untuk mendesain suatu akad pembiayaan syariah adalah
memahami kemampuan nasabah. Dalam hal ini, hal yang perlu diperhatikan adalah
dari sisi highly predictable, yakni apakah sumber pendapatan nasabah
sangat dapat diprediksikan atau tidak. Jika sumber pendapatan
nasabah highly predictable, faktor berikutnya yang harus dilihat adalah
apakah pembiayaan tersebut untuk pekerjaan konstruksi atau pengadaan barang.
Jika untuk pekerjaan konstruksi, pembiayaan yang diberikan adalah
pembiayaan istishna’.Namun, jika
untuk pengadaan barang, pembiayaan yang diberikan adalah
pembiayaan mudharabah, kecuali produksi usaha skala kecil. Jika sumber
pendapatan nasabah tidak termasuk ke dalam kategori highly predictable,
faktor selanjutnya yang harus dilihat adalah apakah pembiayaan tersebut
untuk ready stock atau goods in process.
(3) Memahami
karakteristik sumber dana pihak ketiga bagi bank.
Teknik
ketiga yang perlu dilakukan untuk mendesain suatu akad pembiayaan syariah
adalah memahami karakteristik sumber dana pihak ketiga bagi bank.
Hakikat dari
analisis terhadap kebutuhan sumber dana pihak ketiga ditujukan untuk
mendapatkan:
(a)
Kepastian bank terhadap pemenuhan kebutuhan cash out bank dalam
memberikan pembiayaan dapat tertutupi oleh pembayaran (cash in) dari debitur.
(b)
Kepastian bank terhadap kewajiban pemberian bagi hasil yang harus diberikan
kepada pemegang dana (pihak ketiga) dapat ditutupi oleh pembayaran (cash in)
dari debitur.
(4) Memahami
akad fikih yang tepat.
Teknik
keempat yang perlu dilakukan untuk mendesain suatu akad pembiayaan syariah
adalah memahami akad fikih yang tepat. Seperti yang telah dikemukakan pada bab
terdahulu, penerapan sebuah transaksi tidak boleh bertentangan dengan syariah
Islam, baik dilarang karena haram selain zatnya yakni mengandung tadlis,
ikhtikar, ba’i najasy, gharar, dan riba, maupun karena tidak sah
akadnya, yakni rukun dan syarat yang tidak terpenuhi, terjadi ta’alluq,
serta terjadi dua akad dalam satu transaksi secara bersamaan. Di sisi
lain, penerapan sebuah akad pada suatu transaksi juga harus memperhatikan
karakteristik dari akad yang dimaksud, yakni apakah akad tersebut termasuk ke
dalam kategori akad tabarru’ atau akad tijarah. Jika termasuk
akad tabarru’, bank tidak bisa meminta kompensasi dari nasabah terhadap
pelaksanaan suatu transaksi. Sebaliknya, jika termasuk akad tijarah, bank
berhak memperoleh kompensasi dari nasabah terhadap pelaksanaan transaksi.
Dengan kata
lain, dari hasil identifikasi ini, kita akan memperoleh kepastian mana akad
yang bisa diharapkan kompensasinya dan mana akad yang tidak bias diharapkan.
Terhadap transaksi-transaksi yang termasuk ke dalam kategori akad tijarah,
kita dapat melakukan identifikasi lebih lanjut mengenai mana yang termasuk ke
dalam akad tijarah yang berbasis Natural Certainty
Contracts dan mana pula akad tijarah yang berbasis Natural
Uncertainty Contracts.
Tujuan dari
identifikasi ini adalah untuk memperoleh kepastian pembayaran, baik dai segi
jumlah (amount) maupun waktu (timing). Seperti yang telah dikemukakan pada bab
terdahulu, Natural Certainty Contracts merupakan kontrak atau akad
dalam bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah
(amount) maupun waktu (timing). Dengan kata lain, dalam Natural Certainty
Contracts ini, kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimiliki.
Oleh karena
itu, objek pertukarannya pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik
jumlah (quantity), mutu (quality), harga (price), maupun waktu penyerahannya
(time of delivery). Jadi, kontrak-kontrak tersebut
secara sunnatullah memberikan return yang tetap dan pasti.
Yang
termasuk dalam kategori ini adalah murabahah, ijarah, ijarah
muntahiyah bit tamlik, salam, dan istishna’. Sementara yang dimaksud
dengan Natural Uncertainty Contracts adalah kontrak atau akad dalam
bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi
jumlah (amount) maupun waktu (timing). Dengan demikian, dalam NUC ini,
tingkat return bias positif, negatif, maupun nol. Yang termasuk ke
dalam kategori ini adalah mudharabah, musyarakah, muzara’ah, musaqah,
dan mukhabarah.
TUGAS
Contoh kasus dan skema pembiayaan untuk kebutuhan modal kerja :
Berikut adalah contoh pembiayaan untuk kebutuhan modal kerja dengan kontrak pembiayaan menggunakan skema kemitraan bagi hasil yakni MUDHARABAH.TUGAS
Contoh kasus dan skema pembiayaan untuk kebutuhan modal kerja :
Menurut
sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua yaitu pembiayaan
produktif dan konsumtif. Sedangkan menurut keperluannya, pembiayaan jug adapt
dibagi menjadi dua yaitu pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi.
Jenis
kontrak pembiayaan modal
kerja bisa menggunakan
skema antara lain
- jual beli (murabahah) ataupun dengan skema,
- kemitraan bagi hasil
(mudharabah dan musyarakah).
Berikut adalah skema pembiayaan Mudharabah
Contoh Kasus Mudharabah
Setelah dilakukan usaha, keuntungan bersih (setelah dikurangi biaya-biaya) yang diperoleh sebesar Rp. 5.000.000,-
Maka keuntungan yang diperoleh masing-masing adalah:
Bank Syariah :40% x Rp. 5.000.000 = Rp. 2.000.000,-
Bapak Fadil Muhammad :60% x Rp. 5.000.000 = Rp. 3.000.000,-
Dengan keuntungan tersebut, diakhir bisnis uang yang diterima Bapak Fadil Muhammad adalah:
(seluruh modal + bagian)
1.000.000 + 2.000.000 = Rp. 3.000.000
Jika
Rugi :
Pada saat bisnis mengalami kerugian jika bukan diakibatkan oleh kelalaian Bapak Fadil, maka kerugian tersebut ditanggung oleh Bank Syariah selaku pemilik modal.
Untuk mengembalikannya maka komoditi yang ada dijual seluruhnya sehingga menjadi bentuk uang tunai.Jika seluruh komoditi telah dijual dan memiliki kelebihan dari Rp. 10.000.000,- (modal usaha) maka selebihnya itu dianggap keuntungan dan dibagi sesuai persentase yang telah disepakati.
Mudharabah
1. Pemilik modal ( Bank Syariah )
2. Pengelola Modal ( Bapak Fadil Muhammad )
Bapak Fadil Muhammad membutuhkan dana untuk
membuka usahanya . Karena modal yang ia miliki tidak mencukupi maka Bapak Fadil
memutuskan untuk mengajukan pembiayaan ke bank syariah dengan menggunakan akad
mudharabah.
Bank menyerahkan modal sebesar Rp. 10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah) kepada Bapak Fadil
Muhammad untuk diniagakan. Pada saat perjanjian (akad) disepakati bahwa keuntungan
akan dibagi 40% untuk Bank Syariah (pemilik modal) dan 60% untuk Bapak Fadil
Muhammad (pengelola modal) , dan keuntungan dibagikan setiap usaha setelah
mendapatkan keuntungan (1 kali putaran produksi).
Jika Untung :
Setelah dilakukan usaha, keuntungan bersih (setelah dikurangi biaya-biaya) yang diperoleh sebesar Rp. 5.000.000,-
Maka keuntungan yang diperoleh masing-masing adalah:
Bank Syariah :40% x Rp. 5.000.000 = Rp. 2.000.000,-
Bapak Fadil Muhammad :60% x Rp. 5.000.000 = Rp. 3.000.000,-
Dengan keuntungan tersebut, diakhir bisnis uang yang diterima Bapak Fadil Muhammad adalah:
(seluruh modal + bagian)
1.000.000 + 2.000.000 = Rp. 3.000.000
Pada saat bisnis mengalami kerugian jika bukan diakibatkan oleh kelalaian Bapak Fadil, maka kerugian tersebut ditanggung oleh Bank Syariah selaku pemilik modal.
Untuk mengembalikannya maka komoditi yang ada dijual seluruhnya sehingga menjadi bentuk uang tunai.Jika seluruh komoditi telah dijual dan memiliki kelebihan dari Rp. 10.000.000,- (modal usaha) maka selebihnya itu dianggap keuntungan dan dibagi sesuai persentase yang telah disepakati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar