Sabtu, 04 Maret 2017


Nama  : NURMALA DWI KARTIKA
NPM    : 1401270095
Kelas  :  Perbankan Syariah Vb Pagi
Buku   : Adiwarman A. Karim. 2004. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.






Designing Sharia Contract

Ada empat (4) teknik yang perlu dilakukan untuk mendesain suatu akad pembiayaan syariah, yaitu :


(1) Memahami karakteristik kebutuhan nasabah.
      Dalam hal ini, terdapat 2 hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

(a) Objek.
          Hal pertama yang harus dilihat untuk memahami karakteristik kebutuhan nasabah adalah objek.Apabila objek pembiayaan yang dibutuhkan nasabah adalah berupa barang, harus dilihat dari sisi apakah barang tersebut ready stock atau goods in process. Jika barang tersebut ready stock, pembiayaan yang layak untuk diberikan kepada nasabah adalah pembiayaan murabahah. Namun, jika barang tersebut berupa goods in process, harus dilihat lagi dari sisi apakah waktu yang diperlukan dalam proses barang tersebut berada di bawah 6 bulan atau lebih. Jika proses barang tersebut berada di bawah 6 bulan, pembiayaan yang dapat diberikan adalah pembiayaan salam dengan asumsi nasabah akan mampu menyelesaikan kewajibannya dalam satu kali pembayaran sekaligus. Namun, jika proses barang tersebut berada di atas 6 bulan, pembiayaan yang dapat diberikan adalah pembiayaan istishna’ dengan asumsi nasabah baru akan mampu menyelesaikan kewajibannya setelah melakukan beberapa kali pembayaran. Di sisi lain, apabila objek pembiayaan yang dibutuhkan nasabah bukan berupa barang, melainkan jasa, pembiayaan yang harus diberikan kepada nasabah adalah pembiayaan ijarah.

(b) Kegunaan.
            Hal kedua yang harus dilihat untuk memahami karakteristik kebutuhan nasabah adalah dari sisi kegunaan barang atau jasa yang dibutuhkan. Dalam hal ini, hal utama yang harus cermati adalah apakah barang atau jasa yang dibutuhkan nasabah akan digunakan untuk kegiatan produktif atau konsumtif.Apabila kegunaan pembiayaan yang dibutuhkan nasabah adalah untuk kegiatan produktif, harus dilihat dari sisi apakah barang tersebut digunakan untuk modal kerja atau investasi.

       - Modal Kerja.
Jika kegunaan barang atau jasa tersebut digunakan untuk modal kerja, harus dilihat apakah nasabah telah mempunyai kontrak dengan pihak ketiga atau tidak. Jika nasabah telah mempunyai kontrak, yang harus ditelaah adalah apakah pembiayaan tersebut digunakan untuk pekerjaan konstruksi atau pengadaan barang. Jika untuk pekerjaan konstruksi, pembiayaan yang dapat diberikan bank syariah adalah pembiayaan istishna.

        - Investasi.
Dalam hal jika kegunaan barang atau jasa tersebut digunakan untuk investasi, yang harus dilihat adalah apakah pembiayaan tersebut dimaksudkan untuk ready stock atau goods in process. Jika untuk ready stock, faktor selanjutnya yang harus dilihat adalah apakah barang tersebut sensitif terhadap tax issues atau tidak. Jika iya, pembiayaan yang diberikan bank adalah pembiayaan Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik (IMBT).

(2) Memahami kemampuan nasabah.
            Teknik kedua yang perlu dilakukan untuk mendesain suatu akad pembiayaan syariah adalah memahami kemampuan nasabah. Dalam hal ini, hal yang perlu diperhatikan adalah dari sisi highly predictable, yakni apakah sumber pendapatan nasabah sangat dapat diprediksikan atau tidak. Jika sumber pendapatan nasabah highly predictable, faktor berikutnya yang harus dilihat adalah apakah pembiayaan tersebut untuk pekerjaan konstruksi atau pengadaan barang. Jika untuk pekerjaan konstruksi, pembiayaan yang diberikan adalah pembiayaan istishna’.Namun, jika untuk pengadaan barang, pembiayaan yang diberikan adalah pembiayaan mudharabah, kecuali produksi usaha skala kecil. Jika sumber pendapatan nasabah tidak termasuk ke dalam kategori highly predictable, faktor selanjutnya yang harus dilihat adalah apakah pembiayaan tersebut untuk ready stock atau goods in process.

(3) Memahami karakteristik sumber dana pihak ketiga bagi bank.
            Teknik ketiga yang perlu dilakukan untuk mendesain suatu akad pembiayaan syariah adalah memahami karakteristik sumber dana pihak ketiga bagi bank.
Hakikat dari analisis terhadap kebutuhan sumber dana pihak ketiga ditujukan untuk mendapatkan:

(a) Kepastian bank terhadap pemenuhan kebutuhan cash out bank dalam memberikan pembiayaan dapat tertutupi oleh pembayaran (cash in) dari debitur.

(b) Kepastian bank terhadap kewajiban pemberian bagi hasil yang harus diberikan kepada pemegang dana (pihak ketiga) dapat ditutupi oleh pembayaran (cash in) dari debitur.

(4) Memahami akad fikih yang tepat.
            Teknik keempat yang perlu dilakukan untuk mendesain suatu akad pembiayaan syariah adalah memahami akad fikih yang tepat. Seperti yang telah dikemukakan pada bab terdahulu, penerapan sebuah transaksi tidak boleh bertentangan dengan syariah Islam, baik dilarang karena haram selain zatnya yakni mengandung tadlis, ikhtikar, ba’i najasy, gharar, dan riba, maupun karena tidak sah akadnya, yakni rukun dan syarat yang tidak terpenuhi, terjadi ta’alluq, serta terjadi dua akad dalam satu transaksi secara bersamaan. Di sisi lain, penerapan sebuah akad pada suatu transaksi juga harus memperhatikan karakteristik dari akad yang dimaksud, yakni apakah akad tersebut termasuk ke dalam kategori akad tabarru’ atau akad tijarah. Jika termasuk akad tabarru’, bank tidak bisa meminta kompensasi dari nasabah terhadap pelaksanaan suatu transaksi. Sebaliknya, jika termasuk akad tijarah, bank berhak memperoleh kompensasi dari nasabah terhadap pelaksanaan transaksi.
Dengan kata lain, dari hasil identifikasi ini, kita akan memperoleh kepastian mana akad yang bisa diharapkan kompensasinya dan mana akad yang tidak bias diharapkan. Terhadap transaksi-transaksi yang termasuk ke dalam kategori akad tijarah, kita dapat melakukan identifikasi lebih lanjut mengenai mana yang termasuk ke dalam akad tijarah yang berbasis Natural Certainty Contracts dan mana pula akad tijarah yang berbasis Natural Uncertainty Contracts.
            Tujuan dari identifikasi ini adalah untuk memperoleh kepastian pembayaran, baik dai segi jumlah (amount) maupun waktu (timing). Seperti yang telah dikemukakan pada bab terdahulu, Natural Certainty Contracts merupakan kontrak atau akad dalam bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing). Dengan kata lain, dalam Natural Certainty Contracts ini, kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimiliki.
Oleh karena itu, objek pertukarannya pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlah (quantity), mutu (quality), harga (price), maupun waktu penyerahannya (time of delivery). Jadi, kontrak-kontrak tersebut secara sunnatullah memberikan return yang tetap dan pasti.
Yang termasuk dalam kategori ini adalah murabahah, ijarah, ijarah muntahiyah bit tamlik, salam, dan istishna’. Sementara yang dimaksud dengan Natural Uncertainty Contracts adalah kontrak atau akad dalam bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing). Dengan demikian, dalam NUC ini, tingkat return bias positif, negatif, maupun nol. Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah mudharabah, musyarakah, muzara’ah, musaqah, dan mukhabarah.



TUGAS

Contoh kasus dan skema pembiayaan untuk kebutuhan modal kerja :


        Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua yaitu pembiayaan produktif dan konsumtif. Sedangkan menurut keperluannya, pembiayaan jug adapt dibagi menjadi dua yaitu pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi.
Jenis kontrak pembiayaan modal kerja  bisa menggunakan skema antara lain
 - jual beli (murabahah) ataupun dengan skema,
 - kemitraan bagi hasil (mudharabah dan musyarakah).

         Berikut adalah contoh pembiayaan untuk kebutuhan modal kerja dengan kontrak pembiayaan menggunakan skema kemitraan bagi hasil yakni MUDHARABAH.

Berikut adalah skema pembiayaan Mudharabah


Contoh Kasus Mudharabah

Mudharabah 

1. Pemilik modal ( Bank Syariah )
2. Pengelola Modal ( Bapak Fadil Muhammad )

Bapak Fadil Muhammad membutuhkan dana untuk membuka usahanya . Karena modal yang ia miliki tidak mencukupi maka Bapak Fadil memutuskan untuk mengajukan pembiayaan ke bank syariah dengan menggunakan akad mudharabah.
Bank menyerahkan modal sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) kepada  Bapak Fadil Muhammad untuk diniagakan. Pada saat perjanjian (akad) disepakati bahwa keuntungan akan dibagi 40% untuk Bank Syariah (pemilik modal) dan 60% untuk Bapak Fadil Muhammad (pengelola modal) , dan keuntungan dibagikan setiap usaha setelah mendapatkan keuntungan (1 kali putaran produksi).

Jika Untung :

Setelah dilakukan usaha, keuntungan bersih (setelah dikurangi biaya-biaya) yang diperoleh sebesar Rp. 5.000.000,-
Maka keuntungan yang diperoleh masing-masing adalah:
Bank Syariah                 :40% x Rp. 5.000.000 = Rp. 2.000.000,-
Bapak Fadil Muhammad :60% x Rp. 5.000.000 = Rp. 3.000.000,-
Dengan keuntungan tersebut, diakhir bisnis uang yang diterima Bapak Fadil Muhammad adalah:
(seluruh modal + bagian)
1.000.000 + 2.000.000 = Rp. 3.000.000

Jika Rugi :

Pada saat bisnis mengalami kerugian jika bukan diakibatkan oleh kelalaian Bapak Fadil, maka kerugian tersebut ditanggung oleh Bank Syariah selaku pemilik modal.
Untuk mengembalikannya maka komoditi yang ada dijual seluruhnya sehingga menjadi bentuk uang tunai.Jika seluruh komoditi telah dijual dan memiliki kelebihan dari Rp. 10.000.000,- (modal usaha) maka selebihnya itu dianggap keuntungan dan dibagi sesuai persentase yang telah disepakati.


Kondisi Kelas  Ketika Sedang Berdiskusi.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar