Kamis, 23 Februari 2017

Nama       : NURMALA DWI KARTIKA
NPM         : 1401270095
Kelas       :  Perbankan Syariah Vb Pagi
Buku        : Adiwarman A. Karim. 2004. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.







TEORI PERTUKARAN DAN TEORI PERCAMPURAN


Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, kontrak/ akad dapat dibagi :

I.                    Natural Certainty Contracts
II.                  Natural Uncertainty Contracts.

    Natural Certainty Contracts adalah kontrak/ akad dalam bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, bagi dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya. Cash flow-nya bisa diprediksi relative pasti karena sudah disepakati oleh kedua belah pihak yang bertransaksi diawal akad. Kontrak-kontrak ini secara “sunatullah” (by their nature) menawarkan return yang tetap dan pasti. Jadi sifatnya fixed and predetermined. Objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan diawal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyerahannya (time of dilavery). Yang termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-kontrak jual-beli, upah-mengupah, sewa-menyewa,dan lain-lain.
                Dalam kontrak jenis ini, pihak-pihak yang bertransaksi saling membutuhkan asetnya (baik real assets maupun financial assets). Jadi masing-masing pihak tetap tetap berdiri-sendiri (tidak saling bercampur membentuk usaha baru), sehingga tidak ada resiko pertanggungan bersama. Jika tidak ada percampuran asset si A dengan si B. yang ada misalnya, adalah si A memberikan barang ke B, kemudian sebagai gantinya si B menyerahkan uang kepada si A. Disini barang ditukarkan dengan uang, sehingga terjadilah kontrak jual-beli. Kontrak-kontrak natural certainly ini dapat diterangkan dalam sebuah teori umum yang diberi nama teori pertukaran.
                Dilain pihak, natural uncertainty contracts adalah kontrak/ akad dalam bisnis yang tidak memberikan kepastiaan pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya. Tingkat return-nya bisa positif, negative atau nol. Yang termasuk dalam kontrak ini adalah kontrak-kontrak investasi. Kontrak-kontrak investasi ini secara “sunnatullah” (by their nature) tidak menawarkan return yang tetap dan pasti. Jadi sifatnya tidak fixed and predeter- mined.
                Dalam kontrak jenis ini, pihak-pihak yang saling berinvestasi saling mencampurkan asetnya (baik real assets maupun financial assets) menjadi satu kesatuaan, dan kemudian menanggung resiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntunga. Disini keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Natural uncertainly contracts ini dapat diterangkan dalam sebuah teori umum yang diberi nama teori percampuran (the theory of venture).

TEORI PERTUKARAN

Teori pertukaran terdiri dari dua pilar, yaitu :
I.      Objek pertukaran, dan
II.    Waktu pertukaran
I.      Objek Pertukaran
Fiqih membedakan dua jenis objek pertukaran, yaitu :
-       ‘Ayn (real asset) berupa barang dan jasa
-       Dayn (financial asset) berupa uang dan surat berharga
II.                  Waktu pertukaran
Fiqih membedakan dua waktu pertukaran, yaitu:
-       Daqdan (Immediate delivery) yang berarti penyerahan saat itu juga
-       Ghairu naqdan (Deferred delivery) yang berarti penyerahan kemudian
Dari segi objek pertukaran, dapat diidenfikasi tiga jenis pertukarn, yaitu:
1.       Pertukaran real asset (‘ayn) dengan real asset (‘ayn)
2.       Pertukaran real asset (‘ayn) dengan financial asset (‘dayn)

Pertukaran ‘Ayn dengan ‘Ayn

a.       Lain jenis
Dalam pertukaran ‘ayn dengan ‘ayn, bila jenisnya berbea (misalnya upah tenaga kerja yang dibayar dengan sejumlah beras) maka tidak ada masalah (dibolehkan).

b.      Sejenis
Namun bila jenisnya sama, fiqih membedakan antara real asset yang secara kasat mata tidak dapat dibedakan mutunya.
                Satu-satunya yang membolehkan pertukaran antara yang sejenis dan dan secara kasat mata tidak dapat dibedakan mutunya adalah:
1)        Sewa-an bi sawa-in (sama jumlahnya)
2)        Mistan bi mistlin (sama mutunya)
3)        Yadan bi yadin (sama waktu penyerahannya3.       Pertukaran financial asset (dayn) dengan financial asset (dayn)

Pertukaran ‘Ayn dengan Dayn

            Dalam pertukaran ‘ayn dengan dayn, maka yang dibedakan adalah jenis ‘ayn-nya. Bila ‘ayn-nya adalah barang, maka pertukaran ‘ayn dengan dayn itu disebut jual beli (al-bai’). Sedangkan bila ‘ayn-nya adalah jasa, maka pertukaran itu disebut sewa-menyewa/ upah mengupah (al-ijarah). Dari segi metode pembayarannya Islam membolehkan jual beli dilakukan secara tunai (now for now), bai’naqdan atau secara tangguh bayar (deferred payment, bai’muajjal), atau secaratangguh serah (defferent delivery, bai’salam). Bay Muajjal dapat dibayar secara penuh (muajjal) atau secara cicilan (taqsith). Jual beli tangguh dapat dibedakan lagi menjadi: pertama, pembayarannya lunas sekaligus dimuka (bai’salam); kedua, pembayaran dilakukan secara cicilan dengan syarat harus lunas sebelum barang diserahkan (bai’istishna’).
            Dalam praktik perbankan syariah, akad murabahah lazim digunakan meskipun transaksinya tidak dilakukan oleh anak kecil atau orang yang akalnya kurang, karena teknik perhitungan keuntunganyang dilakuakn bank terlalu rumit untuk dipahami oleh masyarakat awam. Ijarah bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat disebut sewa menyewa sedangkan bila diterapkan diterpakan untuk mendapatkan manfaat orang disebut upah mengupah. Ijarah dibedakan menjadi dua, yaitu ijarah yang pembayannya tergantung pada kinerja yang disewa (disebut ju’alah, success fee), dan ijarah yang pembayannya tidak tergantung pada kinerja yang disewa (disebut ijarah, gaji dan sewa).
            Dalam praktik perbankan, akad ijarah diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nasabah menyewa ruko, misalnya, yang mengharuskan nasabah membayar sewanya secara lump-sum di muka untuk peride 3 tahun. Dalam perkembangan terakhir, muncul pula kebutuhan nasabah yang menyewa untuk memiliki barang yang disewanya diakhir periode sewa. Kebutuhan ini dipenuhi dengan akad Ijarah muntahiabi tamlik. Bagi bank, akad ini merupakan berkah karena memberikan flaksibilitas harga sewa bulanan; suatu hal yang tidak mungkin dilakukan dalam akad murabahah. Akad ini juga membuka peluang bagi bank untuk memperpanjang waktu dengan melakukan akad sewa baru, bial diakhir periode sewa pertama nasabah belum mampu untuk melakukan pembelian barang tersebut.

Pertukaran Dayn dengan Dayn

Dalam pertukaran dayn dengan dayn, dibedakan antara dayn yang berupa uang dengan dayn yang  tidak berupa uang (untuk  selanjutnya disebut surat berharga). Pada zaman ini, uang tidak lagi terbuat dari emas atau perak, bahkan uang tidak lagi dikaitkan nilainya dengan emas atau perak. Sehingga uang saat ini uang kartal yang terdiri uanga kertas dan uang logam. Dayn bi Dayn Yang membedakan uang dengan surat berharga adalah uang dinyatakan sebagai alat bayar resmi oleh pemerintah, sehingga setiap warga Negara wajib menerima uang sebagai alat bayar. Sedangkan akseptasi surat berharga hanya terbatas bagi mereka yang mau menerimanya.


Pertukaran uang dengan uang dibedakan menjadi pertukaran uang yang sejenis dan pertukaran
yang tidak sejenis. Pertukaran uang yang sejenis hanya diperbolehkan bila memenuhi syarat: sawa-an bi sawa-in(same quantity), dan yadan bi yadin (same time of delivery).Misalnya perukaran satu lembar uang pecahaan Rp.100.000 dengan 10 lembar uang pecahaan Rp.10.000, harus dilakukan penyerahannya pada saat yang sama.

Secara terinci,jual beli surat berharga (bai’al dayn bi al dayn) dapat dibedakan menjadi:
  1. Penjualan kepada si pengutang (bai’al dayn lil madin, sale of debt to the debtor), yang dapat dibedakan lagi menjadi:
Ÿ  Hutang yang pasti pembayarannya (confirmed, mustaqir).Bagi mashab Hanbali dan Zahiri, transaksi ini boleh.
Ÿ  Hutang yang tidak pasti pembayarannya (unconfirmed,ghairu mustaqir).Transaksi ini terlarang.
  1. Penjualan kepada pihak ketiga (bai’ al dayn lil ghairu madin, sale of debt to third party) yang dapat dibedakan lagi menjadi empat pendapat:

TEORI PERCAMPURAN

Teori percampuran terdiri dari dua pilar pula, yaitu:
I.    Objek percampuran; dan
II.   Waktu percampuran.

I.    Objek percampuran
Sebagaimana dalam teori pertukaran , fiqih juga membedakan dua jenis objek percampuran, yaitu:
Ÿ  Ayn (real asset) berupa barang dan jasa.
Ÿ  Dayn (financial asset) berupa uang dan surat berharga.

II.   Waktu percampuran
Dari segi waktunya, sebagaimana dalam teori pertukaran fiqih juga membedakan dua waktu percampuran, yaitu:
Ÿ  Naqdan (Immediate delivery) yakni penyerahaan saat itu juga.
Ÿ  Ghairu naqdan (Deferred delivery) yakni penyerahaan kemudian.

Selanjutnya, dari segi objek percampurannya dapat diidentifikasi tiga jenis percampuran, yaitu:
1.       Percampuran real asset (‘ayn) dengan real asset (‘ayn)
2.       Percampuran real asset (‘ayn) dengan financial asset (dayn)
3.       Percampuran financial asset (dayn) dengan financial asset (dayn)

Gambar di bawah ini memberikan ikhtisar mengenai pembagian teori percampuran dan teori pertukaran dilihat dari objeknya dan juga waktunya.Pada dasarnya, pembagian objek dan waktu dalam teori percampuran sama dengan teori pertukaran.
Skema-skema pertukaran dapat diringkas menjadi matriks pertukaran sebagai berikut.

Time
Object
Now for
now
Now for
deferred
Deferred
For deferred
‘Ayn for Ayn
‘Ayn for Dayn
Dayn for Dayn
ü   
ü   
×
Kecuali sharf
ü   
ü   
×
×
×
×


Akad Tabaru
Akad tabarru’ (gratuitos contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut non profit transaction  (transaksinirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil.Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr bahasa arab, yang artinya kebaikan.
Dalam Akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapunkepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah Swt bukan dari manusia. Namun demikianpihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter part-nya untuk sekadar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. Namun ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’itu. Contoh akad-akad tabarru adalah qardh, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah, waqf,shadaqah, hadiah,dll. 

Akad Tijarah
Akad tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini dilakukandengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil. Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain. Kemudian berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya,

Wa’ad adalah janji sedangan Akad adalah transaksi.
Ciri-ciri waad:
(1) janji sepihak
(2) kalaupun janji antara dua pihak atau lebih, belum dirinci hak
dan kewajibannya
(3) jika terjadi pelanggaran maka terkena sanksi moral
(4) bisa tidak mengikat antar pihak
Ciri-ciri akad
(1) janji minimal 2 pihak
(2) janji sudah dirinci hak dan kewajiban
(3) jika terjadi pelanggaran maka terkena sanksi hukum dan juga moral
(4) mengikat antarpiha


Kondisi Kelas















Selasa, 14 Februari 2017

Nama : Nurmala Dwi Kartika Lubis

NPM :  1401270095
Kelas :  VI B Pagi Perbankan Syariah
Buku :  A. Karim, Ir. Adiwarman, Bank Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, cet 3, 2006




Transaksi Yang Dilarang Dalam Islam




 Dalam ibadah kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali yang ada ketentuannya berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadis. Sedangkan dalam urusan mu‘amalah, semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Ini berarti ketika suatu transaksi baru munncul dan belum dikenal sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dapat diterima, kecuali terdapat implikasi dari dalil al-Qur’an dan al-Hadis yang melarangnya. Dengan demikian, dalam bidang mu‘amalah, semua transaksi dibolehkan kecuali yang diharamkan.
Transaksi yang dilarang dalam Islam ada beberapa macam, dilarangnya transaksi itu sesuai dengan faktor penyebabnya. Adapun faktor penyebab dilarangnya transaksi tersebut, dan macam-macam transaksi yang dilarang adalah:

a.    Haram zatnya (haram li-zatihi)
Transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan juga dilarang, misalnya minuman keras, bangkai, daging babi, dan sebagainya. Jadi, transaksi jual beli minuman keras atau barang yang diharamkan dalam Islam adalah haram, walaupun akad jual belinya sah.

b.    Haram selain zatnya (haram li gairihi)
1)    Melanggar prinsif ‘an taradin minkum yaitu Penipuan ( Tadlis )
Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama rida). Mereka harus mempunyai informasi yang sama sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi (ditipu) karena ada sesuatu yang di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain, ini disebut tadlis, dan tadlis dapat terjadi dalam 4 (empat)hal, yaitu:
a)    Kuantitas, tadlis dalam kuantitas contohnya adalah pedagang yang mengurangi takaran (timbangan) barang yang dijualnya.
b)   Kualitas, tadlis dalam kualitas contohnya adalah penjual yang menyembunyikan cacat barang yang ditawarkannya. Dalam tadlis kualitas terdapat dua bentuk yaitu yang pertama dengan cara menyembunyikan cacat yang ada pada barang yang bersangkutan, dan yang kedua dengan menghiasi atau memperindah barang yang ia jual sehingga harganya bisa naik dari biasanya.
c)   Harga, tadlis dalam harga contohnya adalah memanfaatkan ketidaktahuan pembeli akan harga pasar dengan menaikan harga produk di atas harga pasar.
d)    Waktu penyerahan, tadlis dalam waktu penyerahan contohnya adalah petani buah yang menjual buah diluar musimnya padahal petani mengetahui bahwa dia tidak dapat menyerahkan buah yang dijanjikannya itu pada waktunya.

 Adapun dasar hukum tentang larangan penipuan (tadlis) terhadap bertransaksi adalah sebagai berikut:
a)    Al-Baqarah ayat 42
b)    Al-A’raf ayat 85
c)    An-Nahl ayat 105

2)    Melanggar prinsip la tazlimuna wa la tuzlamun
a)   Taghrir ( Gharar )
Gharar  artinya keraguan, atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain. Suatu akad mengandung unsur Garar, karena tidak ada kepastian, baik mengenai ada atau tidak ada objek akad, besar kecilnya jumlah maupun menyerahkan akad tersebut.
Gharar disebut juga tagrir adalah situasi di mana terjadi incomplete information karena adanya ketidakpastian dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Dalam tadlis yang terjadi adalah pihak yang satu tidak mengetahui apa yang diketahui pihak yang lain. Sedang dalam gharar atau tagrir, baik pihak yang satu dengan yang lainnya sama-sama tidak mengetahui sesuatu yang ditransaksikan.

b)   Ihtikar ( Penimbunan barang )
Penimbunan adalah membeli sesuatu yang dibutuhkan masyarakat, kemudian menyimpannya, sehingga barang tersebut berkurang dipasaran dan mengakibatkan peningkatan harga. Penimbunan seperti ini dilarang karena dapat merugikan orang lain dengan kelangkaannya/sulit didapat dan harganya yang tinggi. Dengan kata lain penimbunan mendapatkan keuntungan yang besar di bawah penderitaan orang lain.  Larangan menimbun harta juga terdapat dalam Hadis nabi sebagai beriku:
عَنْ مَعْمَرِبْنِ عَبْدِاللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عّلَيْهِ وَسَلَّمَ : "مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَخَاطِئِ " 
Diriwayatkan dari Ma’mar bin ‘Abdillah r.a., dari Rasulullah saw.: beliau bersabda, “Barang siapa menimbun (barang pokok), dia bersalah (berdosa)”.

c)    Reakayasa permintaan (Bai‘an Najsy)
Rekayasa permintaan yaitu produsen atau pembeli menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk tersebut akan naik.

d)    Riba
Riba adalah penyerahan pergantian sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang tidak dapat terlihat adanya kesamaan menurut timbangan syara’ pada waktu akad-akad, atau disertai mengakhirkan dalam tukar menukar atau hanya salah satunya.
Dasar hukum tentang larangan riba sangatlah banyak baik dalam al-Qur’an maupun Hadis Nabi, diantaranya adalah sebagai berikut:
      - Surat Al-Baqarah ayat 275
Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. 

e)    Perjudian (Maysir)
Transaksi perjudian adalah transaksi yang melibatkan dua pihak atau lebih, di mana mereka menyerahkan uang/harta kekayaan lainnya, kemudian mengadakan permainan tertentu, baik dengan kartu, adu ketangkasan, tebak sekor bola, atau media lainnya. Pihak yang menang berhak atas hadiah yang dananya dikumpulkan dari kontribusi para pesertannya. Sebaliknya, bila dalam permainan itu kalah, maka uangnya pun harus direlakan untuk diambil oleh pemenang.
Allah telah melarang judi (maysir) sebagaimana firma-Nya dalam surat Al-Ma’idah ayat 90 :
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

f)    Suap-menyuap (Risywah)
Yang dimaksud dengan perbuatan risywah adalah memberi sesuatu kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.  Suap dilarang karena suap dapat merusak sistem yang ada di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakadilan sosial dan persamaan perlakuan. Pihak yang membayar suap pasti akan diuntungkan dibandingkan yang tidak membayar.
Allah  telah melarang pebuatan risywah atau suap-menyuap sebagaimana dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 188
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.

c.    Tidak sahnya (lengkap) akadnya
Suatu transaksi tidak masuk kategori haram li gairihi maupun la tazlimuna wa la tuzlamun, belum tentu halal. Masih ada kemungkinan transaksi tersebut menjadi haram bila akad transaksi itu tidak sah atau tidak lengkap. Suatu transaksi dapat dikatakan tidak sah dan/atau tidak lengkap akadnya, bila terjadi salah satu atau lebih faktor-faktor berikut:
  1)    Rukun dan Syarat tidak terpenuhi.

  2)    Terjadi ta‘alluq (jual beli bersyarat)
Ta‘alluq terjadi apabila ada dua akad saling dikaitkan di mana berlakunya akad pertama tergatung pada akad kedua, sehingga dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya rukun (sesuatu yang harus ada pada akad) yaitu abjek akad.
Adapun dasar hukum larangan jual beli bersyarat, sebagaimana dalam Hadis yang diriwayatkan Al-Thabarani
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عّلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعٍ وَ شَرْ طٍ
Rasulullah saw. melarang jual beli dengan syarat.

  3)    Two in in one (safqatain fi al-safqah)
Two in in one atau safqatain fi al-safqah adalah kondisi di mana satu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian mengenai akad mana yang harus digunakan (berlaku). Contoh dari two in in one atau safqatain fi al-safqah adalah transaksi sewa-beli. Dalam transaksi ini terjadi ketidakjelasan dalam akad, karena tidak diketahui akad mana yang berlaku akad jual beli atau akad sewa.
Adapun dasar hukumnya adalah sebagaimana Hadis yang diriwayatkan ‘Amr ibn Syu’aib r.a.,
لاَيَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعُ وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ وَلاَرِبْحُ مَالَمْ يَضْمَنْ وَلاَبَيْعُ مَالَيْسَ عِنْدَ كَ
Tidak dihalalkan meminjam dan menjual, dua syarat dalam satu transaksi jual beli, keuntungan yang belum dapat dijamin, dan menjual sesuatu yang bukan milikmu.


RIBA

     Menurut bahasa, pengertian riba artinya ziyadah (tambahan) atau nama’ (berkembang). Sedangkan menurut istilah pengertian dari riba adalah penambahan pada harta dalam akad tukar-menukar tanpa adanya imbalan atau pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.

Di dalam Islam Riba dalam bentuk apa pun dan dengan alasan apa pun juga adalah dilarang oleh Allah SWT. Sehingga, hukum riba itu adalah haram sebagaimana dalil rentang riba dalam firman Allah SWT dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan riba sebagai berikut.

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَوا لَايَقُمُوْنَ إِلّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبُّطُهُ الشَّيْطَنُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُو اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْل الرِّبَوا وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit jiwa (gila). Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba . . . (Q.S. Al-Baqarah: 275)

يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَوا وَيُرْبِى الصَّدقَتِ واللهُ لاَيُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْم

Artinya: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah SWT tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. ” (Q.S. Al-Baqarah: 276) 

يَايُّهَا الَّذِىْنَ أَمَنُوْا التَّقُوْا اللهَ وَذَرُوْا مَابَقِيَ مٍنَ الرِّبَوا اِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu orang yang beriman.” (Q.S. Al-Baqarah: 278)
          Ar-Ruum ayat 39
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

     Ali imron ayat 130
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

An-Nisa: 161
وَاَخْذِهِمُ الرِّبَوا وَقَدْ نُهُوْا عَنْهُ وَاَكْلِهِمْ اَمْوَالَ النَّاسِ بِاالْبَاطِلِ وَاَعْتَدْنَا لِلْكَفِرِيْنَ مِنْهُمْ عَذَابًا عَلِيْمًا

Artinya: “Dan disebabkan karena mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”

Sejarah Pelarangan Riba Sebelum Islam 

Istilah riba telah dikenal dan digunakan dalam transaksi-transaksi perekonomian oleh masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Akan tetapi pada zaman itu riba yang berlaku adalah merupakan tambahan dalam bentuk uang akibat penundaan pelunasan hutang. Dengan demikian, riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan dalam transaksi jual beli maupun hutang piutang secara batil atau bertentangan dengan kaidah syari'at Islam.

Riba tidak hanya dikenal dalam Islam saja, tetapi dalam agama lain (nonIslam) riba telah kenal dan juga pelarangan atas perbuatan pengambil riba, bahkan pelarangan riba telah ada sejak sebelum Islam datang menjadi agama.

1. Masa Yunani Kuno
Bangsa Yunani kuno mempunyai peradaban tinggi, peminjaman uang dengan memungut bunga dilarang keras. Ini tergambar pada beberapa pernyataan Aristoteles yang sangat membenci pembungaan uang:
 "Bunga uang tidaklah adil"
 "Uang seperti ayam betina yang tidak bertelur"
 "Meminjamkan uang dengan bunga adalah sesuatu yang rendah derajatnya"

2. Masa Romawi
Kerajaan romawi melarang setiap jenis pemungutan bunga atas uang dengan mengadakan peraturan-peraturan keras guna membatasi besarnya suku bunga melalui undang-undang. Kerajaan Romawi adalah kerajaan pertama yang menerapkan peraturan guna melindungi para peminjam.

3. Menurut Agama Yahudi
Yahudi juga mengharamkan seperti termaktub dalam kitab sucinya, menurut kitab suci agama Yahudi yang disebutkan dalam Perjanjian Lama kitab keluaran ayat 25 pasal 22: "Bila kamu menghutangi seseorang diantara warga bangsamu uang, maka janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi hutang, jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang".

Dan pada pasal 36 disebutkan: " Supaya ia dapat hidup di antaramu janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup diantaramu". Namun orang Yahudi berpendapat bahwa riba itu hanyalah terlarang kalau dilakukan dikalangan sesama Yahudi, dan tidak dilarang dilakukan terhadap kaum yang bukan Yahudi. Mereka mengharamkan riba sesama mereka tetapi menghalalkannya kalu pada pihak yang lain. Dan inilah yang menyebabkan bangsa Yahudi terkenal memakan riba dari pihak selain kaumnya. Berkaitan dengan kedhaliman kaum Yahudi inilah, Allah dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 160-161 tegas-tegas mengatakan bahwa perbuatan kaum Yahudi ini adalah riba yaitu memakan harta orang lain dengan jalan BATHIL, dan Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.

4. Menurut Agama Nasrani
Berbeda dengan orang Yahudi, umat Nasrani memandang riba haram dilakukan bagi semua orang tidak terkecuali siapa orang tersebut dan dari agama apapun, baik dari kalangan Nasrani sendiri ataupun non-Nasrani. 

Menurut mereka (tokoh-tokoh Nasrani) dalam perjanjian lama kitab Deuntoronomy pasal 23 pasal 19 disebutkan: "Janganlah engkau membungakan uang terhadap saudaramu baik uang maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan".

Kemudian dalam perjanjian baru di dalam Injil Lukas ayat 34 disebutkan: "Jika kamu menghutangi kepada orang yang engkau harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembalinya, karena pahala kamu sangat banyak".

Pengambilan bunga uang dilarang gereja sampai pada abad ke-13 M. pada akhir abad ke-13 timbul beberapa faktor yang menghancurkan pengaruh gereja yang dianggap masih sangat konservatif dan bertambah meluasnya pengaruh mazhab baru, maka piminjaman dengan dipungut bunga mulai diterima msyarakat. Para pedagang berusaha menghilangkan pengaruh gereja untuk menjastifikasi beberapa keuntungan yang dilarang oleh gereja. Ada beberapa tokoh gereja yang beranggapan bahwa keuntungan yang diberikan sebagai imbalan administrasi dan kelangsungan organisasi dibenarkan karena bukan keuntungan dari hutang. Tetapi sikap pengharaman riba secara mutlak dalam agama Nasrani dengan gigih ditegaskan oleh Martin Luther, tokoh gerakan Protestan. Ia mengatakan keuntungan semacam itu baik sedikit atau banyak, jika harganya lebih mahal dari harga tunai tetap riba.

Pada masa jahiliyah istilah riba juga telah dikenal, pada masa itu (jahiliyah) riba mempunyai beberapa bentuk aplikatif. Beberapa riwayat menceritakan riba jahiliyah.

Bentuk pertama: Riba Pinjaman, yaitu yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyah: "tangguhkan hutangku, aku akan menambahkanya". Maksudnya adalah jika ada seseorang mempunyai hutang (debitor), tetapi ia tidak dapat membayarnya pada waktu jatuh tempo, maka ia (debitor) berkata: tangguhkan hutangku, aku akan memberikan tambahan. Penambahan itu bisa dengan cara melipat gandakan uang atau menambahkan umur sapinya jika pinjaman tersebut berupa bintang. Demikian seterusnya.

Menurut Qatadah yang dimaksud riba adalah orang jahiliyah adalah seorang laki-laki menjual barang sampai pada waktu yang ditentukan. Ketika tenggat waktunya habis dan barang tersebut tidak berada di sisi pemiliknya, maka ia harus membayar tambahan dan boleh menambah tenggatnya.

Abu Bakar al-Jashshash berkata: seperti dimaklumi, riba dimasa jahiliyah hanyalah sebuah pinjaman dengan rentang waktu, disertai tambahan tertentu. 

Jenis-jenis Riba :

1. Riba Al Fadhl

Adalah tambahan pada salah satu dua ganti kepada yang lain ketika terjadi tukar menukar sesuatu yang sama secara tunai. Islam telah mengharamkan jenis riba ini dalam transaksi karena khawatir pada akhirnya yang akan jatuh pada riba yang hakiki yaitu riba an nasi’ah yang sudah menyebar dalam tradisi masyarakat Arab. Rasulullah saw bersabda,

“Janganlah kalian menjual satu dirham dengan dua dirham sesungguhnya saya takut terhadap kalian dengan rima, dan rima artinya riba” (Ibnu Qudamah)

Karena perbuatan ini bisa mendorong seseorang untuk melakukan riba yang hakiki, maka menjadi hikmah Allah dengan mengharamkannya sebab ia bisa menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan haram, dan siapa yang membiarkan kambingnya berada di sekitar kawasan larangan hampir saja ia masuk ke dalamnya sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw.

Termasuk dalam bagian ini adalah riba qardh, yaitu seseorang memberi pinjaman uang kepada orang lain dan dia memberi syarat supaya si penghutang memberinya manfaat seperti menikahi anaknya, atau membeli barang darinya, atau menambah jumlah bayaran dari utang pokok.

2. Riba Jahiliyah
       utang yang dibayar melebihi melebihi pokok pinjaman karena si peminjam tidak mampu membayar pada waktu yang ditetapkan.
Riba jahiliyah dapat ditemui dalam transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihan nya.



3. Riba An Nasi’ah

Adalah jual beli dengan mengakhirkan tempo pembayaran. Riba jenis inilah yang terkenal di zaman jahiliyah. Salah seorang dari mereka memberikan hartanya untuk orang lain sampai waktu tertentu dengan syarat dia mengambil tambahan tertentu dalam setiap bulannya sedangkan modalnya tetap dan jika sudah jatuh tempo ia akan mengambil modalnya, dan jika dia belum mampu membayar, maka waktu dan bunganya akan ditambah.

Riba dalam jenis transaksi ini sangat jelas dan tidak perlu diterangkan sebab semua unsur dari Riba telah terpenuhi semua seperti tambahan dari modal, dan tempo yang menyebabkan tambahan. Dan menjadikan keuntungan (interest) sebagai syarat yang terkandung dalam akad yaitu sebagai harta melahirkan harta  karena adanya tempo dan tidak lain adalagi yang lain.




                                         (kondisi Kelas)